Jumat, 20 Mei 2016

Garuda Wisnu Kencana ~ Bali Part 5



GWK Cultural Park

Setelah puas menikmati keindahan pura luhur uluwatu kami kemudian melanjutkan petualangan kami ke Taman budaya Garuda Wisnu Kencana. Letaknya tidak begitu jauh dari pura luhur uluwatu. Tepatnya di jalan raya uluwatu desa ungasan, Kuta selatan. Hanya sekitar tiga puluh menit. Lokasi ini berada di jalur kami saat berangkat ke pura luhur ulu watu, namun sengaja kami jadikan urutan ke dua karena kami tidak ingin melewatkan pertunjukan gratis tari kecak.

Sesuai namanya taman budaya Garuda Wisnu Kencana atau disingkat GWK merupakan tempat yang dibangun untuk mementaskan budaya-budaya bali dan disana juga ada patung raksasa dewa wisnu yang sedang menunggangi burung Garuda karya pematung Bali terkenal I Nyoman Nuarta. Sampai sekarang pembangunan patung ini belum juga selesai, namun hal tersebut tidak mengurangi jumlah wisatawan yang datang. Area Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana ini berada ketinggian 263 meter di atas permukaan laut. Dengan luas sekitar 60 hektar.

Mulai masuk ke GWK wisatawan akan disambut dengan taman yang sangat luas, terdapat patung-patung besar yang menghiasi beberapa sudut taman. Masuk lokasi utama GWK  terdapat banyak tempat pertunjukan di antaranya Wisnu Plaza, Street Theater, Amphitheater, Plaza Kura-Kura, dan Indraloka. Taman budaya ini juga menyediakan fasilitas restoran dan toko souvenir.
Plaza Kura-Kura
Patung Badan Dewa Wisnu
Patung Badan Garuda

Patung Garuna Wisnu Kencana Lengkap Versi Kecil
Tebing kapur atau Lotus Pond
Tari Legong
Area GWK berada di perbukitan kapur, tebing kapur yang dikeruk dan seperti dipotong-potong menjadikan kontur tempat wisata ini menjadi lebih bervariasi. Kalau teman-teman berkunjung kesana pastikan tahu jadwal pementasan seni budaya apa saja yang akan dipentaskan hari itu. Saya kemarin berkesempatan menyaksikan tari barongsai, karena memang saat itu bertepatan dengan liburan imlek, dilanjutkan dengan tari Legong bali dan yang saya tunggu-tunggu adalah pementasan tari kecak.
Tari Kecak
 Tari kecak dipentaskan di Amphitheater, mengambil judul garuda wisnu kencana mengisahkan tentang asal mula garuda menjadi kendaraan wisnu. Kisahnya kurang lebih seperti yang ditulis sang nanang dalam blognya berikut:
Alkisah di negeri dongeng, tersebutlah seorang guru nan bijaksana bernama Resi Kasyapa.  Resi ini memiliki dua orang istri yang bernama Kadru dan Winata. Masing-masing dikaruniai anak-anak berupa Naga dan Garuda. Meskipun sang resi sangat bijaksana dan bersikap adil terhadap kedua istrinya, namun Kadru senantiasa merasa cemburu terhadap Winata. Maka dalam setiap kesempatan ia senantiasa ingin menyingkirkan Winata dari perhatian dan lingkaran keluarga. Segala tabiat dan niat jahat seringkali dijalankan untuk menjauhkan Winata dari suami mereka.
Pada suatu ketika, para dewa mengaduk samudra purba dengan air suci amertha sari, air suci yang membawa keabadian bagi siapapun makhluk yang meminumnya. Bersamaan dengan peristiwa itu muncullah kuda yang bernama Ucaihsrawa. Didorong oleh rasa kecemburuan yang telah menahun, Kadru menantang Winata untuk bertaruh mengenai warna kuda Ucaihsrawa. Barang siapa yang kalah dalam pertaruhan tersebut, maka ia harus menjadi budak seumur hidup yang harus taat dan patuh terhadap apapun kehendak dan perintah sang pemenang. Dalam taruhan, Kadru bertaruh Ucaihsrawa berwarna hitam. Sedangkan Winata memilih warna putih.
Para Naga tahu bahwa kuda Ucaihsrawa sebenarnyalah berwarna putih. Mereka kemudian melaporkan hal tersebut kepada Kadru, ibunda mereka. Atas pelaporan para Naga, putranya, Kadru secara licik memerintahkan para Naga untuk menyemburkan bisa mereka ke tubuh kuda putih agar nampak seperti kuda hitam. Pada saat Ucaihsrawa tiba di hadapan Kadru dan Winata, nampaklah kuda yang dipertaruhkan berwarna hitam, bukan putih sebagaimana aslinya. Singkat cerita, Winata harus menjadi budak dan melayani segala perintah Kadru seumur hidupnya yang tersisa.
Sebagai anak yang sangat berbakti kepada ibundanya, Garuda merasa sangat marah atas kelicikan para Naga yang telah membuat kebohongan besar atas diri Winata. Dengan kemarahan meluap, diseranglah para Naga. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat di atas langit, antara Garuda dan para Naga. Dikarenakan kekuatan dan kesaktian diantara kedua kubu sama dan seimbang, maka perang itupun berlangsung sepanjang saat sebagai simbol keabadian pertempuran antara nilai kebaikan dan kebatilan.
Karena pertempuran berlangsung sekian lama panjangnya, para Naga bersedia memberikan pengampunan atas perbudakan terhadap Winata asalkan Garuda mampu memberikan tirta suci amertha sari yang dapat memberikan keabadian hidup mereka dan ibunya. Akhirnya sang Garuda menyanggupi apapun yang harus ia lakukan asalkan ia dapat membebaskan ibundanya.
Dalam pengembaraan pencarian tirta suci amertha sari, Garuda berjumpa dengan Dewa  Wisnu. Ketika dimintakan air suci tersebut, Wisnu mempersyaratkan akan memberikan air tersebut, asalkan  sang Garuda menyanggupi diri untuk menjadi tunggangan bagi Dewa Wisnu. Garuda selanjutnya mendapatkan tirta suci amertha sari yang ditempatkannya dalam wadah kamandalu bertali rumput ilalang.
Dengan air suci mertha sari, para Naga berniat mandi untuk segera mendapatkan keabadian hidup. Bersamaan dengan itu, Dewa Indra yang kebetulan melintas mengambil alih air suci. Dari wadah Kamandalu, tersisalah percikan air pada sisa tali ilalang. Tanpa berpikir panjang, percikan air pada ilalang tersebut dijilati oleh para Naga. Tali ilalang sangatlah tajam bagaikan sebuah mata pisau. Tatkala menjilati ilalang tersebut, terbelahlah lidah para Naga menjadi dua bagian. Inilah asal-usul kenapa seluruh keluarga besar Naga dan semua keturunannya memiliki lidah bercabang.

Setelah puas menjelajahi GWK cultural park kami kembali lagi ke hotel, tentunya tetap menggunakan google maps untuk membimbing kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar