GWK Cultural Park |
Setelah puas
menikmati keindahan pura luhur uluwatu kami kemudian melanjutkan petualangan
kami ke Taman budaya Garuda Wisnu Kencana. Letaknya tidak begitu jauh dari pura
luhur uluwatu. Tepatnya di jalan raya uluwatu desa ungasan, Kuta selatan. Hanya
sekitar tiga puluh menit. Lokasi ini berada di jalur kami saat berangkat ke
pura luhur ulu watu, namun sengaja kami jadikan urutan ke dua karena kami tidak
ingin melewatkan pertunjukan gratis tari kecak.
Sesuai namanya taman
budaya Garuda Wisnu Kencana atau disingkat GWK merupakan tempat yang dibangun
untuk mementaskan budaya-budaya bali dan disana juga ada patung raksasa dewa
wisnu yang sedang menunggangi burung Garuda karya pematung Bali terkenal I Nyoman Nuarta. Sampai sekarang pembangunan patung
ini belum juga selesai, namun hal tersebut tidak mengurangi jumlah wisatawan
yang datang. Area Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana ini berada ketinggian 263
meter di atas permukaan laut. Dengan luas sekitar 60 hektar.
Mulai masuk ke GWK
wisatawan akan disambut dengan taman yang sangat luas, terdapat patung-patung
besar yang menghiasi beberapa sudut taman. Masuk lokasi utama GWK terdapat banyak tempat pertunjukan di antaranya Wisnu Plaza, Street Theater,
Amphitheater, Plaza Kura-Kura, dan Indraloka. Taman budaya ini juga menyediakan
fasilitas restoran dan toko souvenir.
Plaza Kura-Kura |
Patung Badan Dewa Wisnu |
Patung Badan Garuda |
Patung Garuna Wisnu Kencana Lengkap Versi Kecil |
Tebing kapur atau Lotus Pond |
Tari Legong |
Area GWK berada di
perbukitan kapur, tebing kapur yang dikeruk dan seperti dipotong-potong
menjadikan kontur tempat wisata ini menjadi lebih bervariasi. Kalau teman-teman
berkunjung kesana pastikan tahu jadwal pementasan seni budaya apa saja yang
akan dipentaskan hari itu. Saya kemarin berkesempatan menyaksikan tari
barongsai, karena memang saat itu bertepatan dengan liburan imlek, dilanjutkan
dengan tari Legong bali dan yang saya tunggu-tunggu adalah pementasan tari kecak.
Tari Kecak |
Alkisah di negeri dongeng, tersebutlah seorang guru nan
bijaksana bernama Resi Kasyapa. Resi ini memiliki dua orang istri yang
bernama Kadru dan Winata. Masing-masing dikaruniai anak-anak berupa Naga dan
Garuda. Meskipun sang resi sangat bijaksana dan bersikap adil terhadap kedua
istrinya, namun Kadru senantiasa merasa cemburu terhadap Winata. Maka dalam
setiap kesempatan ia senantiasa ingin menyingkirkan Winata dari perhatian dan
lingkaran keluarga. Segala tabiat dan niat jahat seringkali dijalankan untuk
menjauhkan Winata dari suami mereka.
Pada suatu ketika, para dewa mengaduk samudra purba
dengan air suci amertha sari, air suci yang membawa keabadian bagi siapapun
makhluk yang meminumnya. Bersamaan dengan peristiwa itu muncullah kuda yang
bernama Ucaihsrawa. Didorong oleh rasa kecemburuan yang telah menahun, Kadru
menantang Winata untuk bertaruh mengenai warna kuda Ucaihsrawa. Barang siapa
yang kalah dalam pertaruhan tersebut, maka ia harus menjadi budak seumur hidup
yang harus taat dan patuh terhadap apapun kehendak dan perintah sang pemenang.
Dalam taruhan, Kadru bertaruh Ucaihsrawa berwarna hitam. Sedangkan Winata
memilih warna putih.
Para Naga tahu bahwa kuda Ucaihsrawa sebenarnyalah
berwarna putih. Mereka kemudian melaporkan hal tersebut kepada Kadru, ibunda
mereka. Atas pelaporan para Naga, putranya, Kadru secara licik memerintahkan
para Naga untuk menyemburkan bisa mereka ke tubuh kuda putih agar nampak
seperti kuda hitam. Pada saat Ucaihsrawa tiba di hadapan Kadru dan Winata,
nampaklah kuda yang dipertaruhkan berwarna hitam, bukan putih sebagaimana
aslinya. Singkat cerita, Winata harus menjadi budak dan melayani segala
perintah Kadru seumur hidupnya yang tersisa.
Sebagai anak yang sangat berbakti kepada ibundanya,
Garuda merasa sangat marah atas kelicikan para Naga yang telah membuat
kebohongan besar atas diri Winata. Dengan kemarahan meluap, diseranglah para
Naga. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat di atas langit, antara Garuda
dan para Naga. Dikarenakan kekuatan dan kesaktian diantara kedua kubu sama dan
seimbang, maka perang itupun berlangsung sepanjang saat sebagai simbol
keabadian pertempuran antara nilai kebaikan dan kebatilan.
Karena pertempuran berlangsung sekian lama panjangnya,
para Naga bersedia memberikan pengampunan atas perbudakan terhadap Winata
asalkan Garuda mampu memberikan tirta suci amertha sari yang dapat memberikan
keabadian hidup mereka dan ibunya. Akhirnya sang Garuda menyanggupi apapun yang
harus ia lakukan asalkan ia dapat membebaskan ibundanya.
Dalam pengembaraan pencarian tirta suci amertha sari,
Garuda berjumpa dengan Dewa Wisnu. Ketika dimintakan air suci tersebut,
Wisnu mempersyaratkan akan memberikan air tersebut, asalkan sang Garuda
menyanggupi diri untuk menjadi tunggangan bagi Dewa Wisnu. Garuda selanjutnya
mendapatkan tirta suci amertha sari yang ditempatkannya dalam wadah kamandalu
bertali rumput ilalang.
Dengan air suci mertha sari, para Naga berniat mandi
untuk segera mendapatkan keabadian hidup. Bersamaan dengan itu, Dewa Indra yang
kebetulan melintas mengambil alih air suci. Dari wadah Kamandalu, tersisalah percikan
air pada sisa tali ilalang. Tanpa berpikir panjang, percikan air pada ilalang
tersebut dijilati oleh para Naga. Tali ilalang sangatlah tajam bagaikan sebuah
mata pisau. Tatkala menjilati ilalang tersebut, terbelahlah lidah para Naga
menjadi dua bagian. Inilah asal-usul kenapa seluruh keluarga besar Naga dan
semua keturunannya memiliki lidah bercabang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar