Ulu Watu |
Pura luhur ulu watu
menjadi destinasi wisata pertama kami di bali. Sesuai namanya “ulu” berarti puncak dan “watu” berarti batu. Jadi pura luhur ulu watu ini
merupakan pura atau tempat peribadatan umat hindu yang dibangun diatas tebing
batu yang menjorok ke laut dengan ketinggian +/- 97 meter di atas permukaan
laut (dpl). Daya tarik utama dari tempat wisata ini memang ke eksotisan
pemandangan tebing curam yang berada di atas laut biru dengan ombak yang
besar. Tahun ini puraluhur uluwatu menempati peringkat 4 sebagai destinasi
wisata terfavorit di Indonesia.
Untuk menuju ulu
watu dari kuta, kami sepenuhnya mengandalkan GPS pada smartphone yang kami
bawa. Tidak lupa untuk membawa battery bank agar battery tetap bertahan untuk
kebutuhan tracking jalur dan foto-foto nanti. Sebenarnya waktu yang paling
tepat untuk ke sana adalah sore hari sehingga kita bisa melihat keindahan
sunset dengan latar siluet pura luhur uluwatu yang konon tak ada tandingannya
di pulau bali. Namun karena sore hari kami ingin melihat pertunjukan tari kecak
gratis di GWK maka kami putuskan mengunjunginya siang hari.
Tiket masuk uluwatu
15ribu rupiah dan itu sudah termasuk mendapatkan kain dan selendang. Bagi wisatawan
yang memakai celana atau rok di atas lutut wajib memakai kain sarung sedangkan
yang sudah memakai celana atau rok panjang cukup memakai selendang sebagai
sarat masuk. Rute awal yang kami lalui
adalah alas kekeran atau hutan suci namun wisatawan sering menyebutnya hutan
kera. Di sana memang banyak berkeliaran monyet. Wisatawan diperbolehkan memotho
dan memberi makan monyet di sana, namun diminta hati-hati karena kadang monyet
disana suka usil merampas barang bawaan pengunjung. Tapi tidak usah khawatir
karena ada banyak pawang yang berjaga di sana.
Monyet ulu watu sumber aliyamuafa |
Setelah melewati
hutan kera kita akan mendapati tebing panjang yang telah dibatasi dengan pagar
beton untuk keselamatan pengunjung. Dari tebing tersebut kita bisa menikmati
keindahan samudra hindia. Laut biru berbatas langit yang indah membentang di
cakrawala. Wisatawan bisa menyusuri tebing ini di jalan beton setapak dengan kontur
naik turun. Melihat kaki-kaki tebing yang dibelai ombak, melihat eksotisme pura
yang berumur ratusan tahun dan asrinya taman serta bangunan etnik yang unik
membuatku terpesona.
Tebing Ulu Watu |
Menyusuri jalan setapak menuju Pura |
Memasuki bagian jabaan pura (halaman luar pura), wisatawan akan disambut oleh sebuah
gerbang Candi Bentar berbentuk sayap burung yang melengkung. Gerbang yang
menjadi pintu masuk menuju jabaan tengah ini merupakan salah satu peninggalan
arkeologis abad ke-16. Untuk mencapai bagian dalam pura, kita akan melewati
Candi Kurung yang di depannya terdapat patung penjaga candi dengan
bentuk arca Ganesha. Namun, wisatawan tidak diperbolehkan memasuki ruang utama
pemujaan, untuk menghormati kesucian pura sebab hanya umat Hindu yang akan
bersembahyang saja yang diperbolehkan memasukinya. Di dalam ruang utama pura,
terdapat sebuah prasada, yaitu tempat moksanya Dang Hyang Nirartha. Sejarah
singkat tentang pura ini juga bisa kita baca di prasasti yang ada di sana.
Prasasti Sejarah Ulu watu |
Sungguh bali telah
berhasil menghipnotisku sejak saat aku pertama berada di pulau indah itu. Bali
bukan hanya menjual keeksotisan alamnya, tetapi juga kekentalan budaya, kesakralan
tempat peribadatan, dan keramahan penduduknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar