Minggu, 09 Desember 2012

Anak Rantau


Alhamdulillah,.. kalimat itulah yang berkali-kali terucap dari mulutnya. Dalam dua bulan terahir (sept-okt 2011) begitu banyak nikmat Tuhan yang menghampiri dirinya. Apa yang ia cita-citakan semuanya terwujud dengan sempurna. Skripsi yang begitu banyak dosen meragukannya akan selesai tepat waktu, mampu ia selesaikan dengan nilai sempurna. IPK yang dia inginkan juga terwujud padahal dosen walinya sendiri meragukannya. Toeflenya juga lulus walaupun dengan nilai pas-pasan. Dan yang terpenting dia bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu ketika beberapa teman-temannya yang lain harus molor kelulusannya. Dan hanya selisih satu minggu dari wisudanya dia sudah mendapatkan pekerjaan di ibukota.
Dia melongok ke luar jendela kamarnya, dilihatnya jajaran gedung-gedung bertingkat yang membebani bumi Jakarta. Keadaan itu begitu kontras dengan tempat yang ia tinggali saat ini. Di sebuah kawasan kumuh Jakarta barat, ia tinggal di kamar triplek beratap esbes yang ada di atas rumah petak. Bangunan-bangunan rumah bertingkat dua atau tiga yang semrawut, begitu compang-camping tidak teratur. Dulunya tempat itu adalah sebuah pasar yang dipindah. Setelah itu lahan tersebut berubah menjadi pemukiman penduduk dengan hak guna tapi tidak memiliki hak milik.
Kamar triplek berukuran 3x3m itu sangat panas dan gerah, terutama ketika siang hari. Ketika malam nyamuk-nyamuk sangat banyak, saat kerja dia terpaksa harus memakai baju lengan panjang untuk menutupi kulit tangannya yang bentol-bentol akibat digigit nyamuk.
Sebenarnya dengan gaji yang dimiliki saat ini dia cukup mampu untuk tinggal di tempat kos yang lebih layak. Namun ia tetap memilih tinggal di sana karena ada saudaranya yang tinggal di sana. Dia tidak mau dianggap gak mau kumpul sama saudara. Makanya dia terus bertahan disana sambil mencari alasan yang tepat untuk pindah di kemudian hari. Lagi pula dia memiliki tanggungan hutang sepeda motor yang harus dicicilnya selama 5bulan.
Jam setengah 6 pagi dia harus mengantri menampung air untuk mandi, air PDAM di sana keluarnya kecil. Sehingga untuk mandi harus menunggu menampung di bak sambil mengantri mandi dengan penghuni kos yang lain. Jam 6.30 dia berangkat kerja dan pulang sampai kos jam 7 malam. Jarak kos dan kantornya cukup jauh sehingga butuh 45-60 menit untuk sampai dari kos ke kantor atau sebaliknya. Rutinitas itu selalu ia jalani setiap senin sampai jumat. Sementara sabtu dia gunakan untuk mencuci baju dan minggu dia baru bisa jalan-jalan atau ke bengkel memanjakan motor bebek kesayangannya.
Namun keadaan seperti itu ia terima dengan lapang dada, bahkan ia sangat bersyukur, baru mulai kerja sudah bisa beli motor sendiri dan tiap bulan menyisihkan gajinya untuk dikirim ke orang tua di kampung halamannya. Ia yakin dengan bersyukur nikmat yang ia terima saat ini akan dilipat gandakan oleh Tuhannya.

Satu tahun kemudian…

Kos-kosan yang asri.. kamar yang nyaman, jarak kos ke tempat kerja yang lumayan dekat. Teman-taman kos yang sehoby dan sepaham. Dia tak perlu lagi mencuci pakaian karena telah dicucikan pembantu. Hari-hari kerja lebih ceria. Sementara ahir pekan dia gunakan untuk gowes atau jalan-jalan memanjakan diri. Semua hutang yang dia punya telah lunas. Gajinya pun telah naik. Saat ini dia semakin bersyukur pada Tuhannya. Dan semoga tahun-tahun mendatang dia lebih bahagia. Rejekinya lebih barokah. Pahalanya lebih melimpah.   Amiiiiinnn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar